Wali Nanggroe dan Asal Usul nya

Nama Malik Mahmud yang sebenarnya: Malik Khaidir Mahmud. Pegawai pendaftaran kelahiran di Singapore tidak tau bagaimana mengeja Khaidir, maka ditulis Hayther atau Haythar. 
Ibunya berasal dari Lampreh, Lambaro. Ayahnya, Haji Mahmud, berasal dari Lampuuk, Banda Aceh, asli Aceh, lari ke Singapura ketika mau ditangkap Belanda (Mujahidin). Al-Marhum pedagang Aceh yang hebat, sangat kaya, punya tanah di mana" di Singapore. Haji Mahmud adalah gembong DI, sangat bersahabat dengan Teungku Ilyas Leube dan Teungku Daud Bereu'eh. Hubungannya dengan Hasan Tiro hampir seperti anak.
Hasan Tiro selama DI sangat rapat dengan keluarga Mahmud, terutama dengan Amir Rashid (abangnya Malik, salah seorang Mentri GAM). Haji Mahmud sangat berjasa pada masyarakat Aceh di Singapore, dan juga bagi orang Melayu, dikenal sebagai Ayah Aceh. Ketika terjadi racial clash di Singapore, orang Melayu seluruh Geylang lari berlindung ke rumahnya. Orang" Aceh Kongsi, Permi, Permai (perusahaan2 besar Aceh di Malaya), banyak mendapat kontak awal di luar negeri melalui Haji Mahmud.
Saat pertemuan di Stavanger, Nur Djuli mengusulkan kepada Hasan Tiro untuk mengangkat Malik Mahmud menjadi Perdana Menteri dan Zaini Abdullah sebagai Menteri Luar Negeri Neugara Acheh. Kesepakatan itu tertuang dalam Deklarasi Stavanger pada hari minggu, 2 Juli 2002.
Setelah Wafat Muhammad Hasan Tiro, Malik Mahmud Di Angkat Menjadi Pemangku Wali Nanggroe, Dan Tepat Hari Jumat, 2 November 2012, Malik Mahmud Di Angkat Menjadi Wali Nanggroe Perioe 2012-2019.

Menurut versi naskah akademik raqan, Tgk Tjik di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah merupakan Wali Nanggroe yang Pertama, yang selanjutnya berturut-turut digantikan oleh Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman, Tgk Tjik Di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman, Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman, Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman, Tgk Tjik Di Tiro Mahyiddin bin Muhammad Saman, Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tjik Di Tiro Di Garot Muhammad Hasan, Tgk Tjik Di Tiro Muaz bin Muhammad Amin, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, dan sekarang Malik Makhmud Al Haitar.
Dari perspektif historis di atas, menegaskan bahwa Aceh tak pernah dijajah dan tak pernah menyerah. Perspektif ini menjadi penting guna meluruskan sejarah Kolonial di Indonesia, bahwa tak semua daerah nusantara dapat dijajah oleh Belanda. Ternyata ada satu daerah yang tak mampu dijajah Belanda, yaitu Aceh.
Kedua, Wali Nanggroe harus menjadi perekat Satu Aceh. Bukan hanya untuk mengurusi Aceh Pesisir, atau Aceh Leuser Antara, atau Aceh Barat Selatan saja, tetapi untuk semua Aceh yang satu. Dengan demikian adalah ideal jika Wali Nanggroe dapat dipilih bergilir mengakomodir ketiga bagian Aceh yang secara kutural agak berbeda. Pro-kontra bahwa Wali Nanggroe harus bisa berbahasa Aceh, misalnya, harus dipahami dalam konteks yang lebih luas, yaitu mampu berbahasa  salah satu bahasa yang hidup di Aceh. Jadi, tidak hanya mampu berbahasa Aceh pesisir, tetapi boleh juga mampu berbahasa Gayo, Jamee, Alas, Kluet, Taming, atau lain-lainnya.
Eksistensi Wali Nanggroe harus dapat menjadi simbol pemersatu, yang megayomi bagi semua orang Aceh, baik yang mendiami wilayah Aceh maupun yang di luar Aceh, termasuk yang di luar negeri. Dalam konteks ini, maka Wali Nanggroe harus menjadi lem yang merekatkan berbagai komunitas masyarakat yang retak selama konflik hingga akhir-akhir ini.

Ketiga, Wali Nanggroe pun harus menjadi katalisator yang menetralkan, menentramkan  dan turut mengawal stabilitas politik serta pemerintahan Aceh. Dalam posisi sedemikian, walaupun bukan lembaga politik, keberadaan lembaga Wali Nanggroe diharapkan dapat mencitrakan kharisma dan kewibawaan yang disegani semua pihak. Sehingga, lembaga ini dapat memposisikan sebagai pemberi nasehat dan pertimbangan, serta dapat menjadi wahana konsultasi bagi pemerintahan Aceh, baik oleh eksekutif maupun legislatifnya.

Posting Komentar

0 Komentar