Bahaya Toxic Positivity: Ketika Memaksa Bahagia Justru Menyakiti Diri Sendiri

 



Toxic positivity adalah fenomena ketika seseorang secara berlebihan mendorong sikap positif dan mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya valid dan manusiawi. Kalimat-kalimat seperti “semua akan baik-baik saja,” “jangan sedih, bersyukur aja,” atau “pikir yang positif aja” terdengar menenangkan di permukaan. Namun ketika diucapkan pada saat yang tidak tepat, kalimat-kalimat ini bisa menjadi sangat merusak. Bukan karena niat buruk, melainkan karena mengabaikan ruang untuk merasa, menerima, dan memproses emosi yang sedang dialami.

Dalam masyarakat yang menghargai senyum dan semangat, ekspresi kesedihan atau rasa kecewa sering dianggap lemah. Padahal kenyataannya, manusia bukan makhluk yang bisa bahagia terus menerus. Ada masa di mana semuanya terasa berat. Ada waktu di mana air mata ingin tumpah tanpa sebab yang jelas. Dan itu bukan sebuah kegagalan. Itu adalah wujud dari jiwa yang sedang berproses.

Toxic positivity memaksa seseorang untuk menekan emosi negatifnya, menumpuk luka demi terlihat ‘kuat’ atau ‘baik-baik saja’. Ketika seseorang mengeluh dan justru dibalas dengan kalimat pemotong seperti, “kamu masih beruntung dibanding yang lain,” maka di situlah ruang untuk merasa menjadi tertutup. Padahal, membandingkan rasa sakit tidak pernah membuat rasa sakit itu hilang. Luka tetaplah luka, sekecil apapun bentuknya.

Yang membuat toxic positivity berbahaya adalah efek jangka panjangnya. Seseorang yang terus-menerus menekan emosinya akan mengalami kelelahan batin. Ia mungkin terlihat bahagia di luar, tetapi hancur di dalam. Ketika kesedihan tidak diberi ruang untuk diakui, maka ia akan mencari jalan lain untuk keluar — entah lewat ledakan emosi tiba-tiba, kecemasan berlebih, atau bahkan gejala fisik seperti sulit tidur dan tubuh terasa berat tanpa sebab.

Lebih parah lagi, toxic positivity dapat menghentikan seseorang dari mencari bantuan. Ketika merasa bahwa ia “tidak seharusnya merasa sedih,” maka ia pun mulai memendam semuanya sendiri. Padahal, salah satu kunci penyembuhan adalah keberanian untuk mengakui bahwa ada luka yang belum sembuh. Bahwa ada rasa yang sedang tidak baik-baik saja, dan itu bukan sesuatu yang harus ditutupi.

Sikap positif tentu penting. Namun yang lebih penting adalah keseimbangan antara berpikir positif dan menerima kenyataan. Hidup bukan hanya tentang bahagia, tetapi juga tentang kecewa, kehilangan, marah, dan ragu. Semua emosi itu hadir bukan untuk dihapus, tapi untuk didengarkan. Dengan mendengarkan perasaan yang menyakitkan, kita memberi ruang pada diri sendiri untuk benar-benar pulih, bukan hanya menutupi luka dengan kata-kata manis yang kosong.

Menjadi positif bukan berarti harus mengabaikan rasa sakit. Justru dengan menerima rasa sakit itu, seseorang bisa melangkah maju dengan kesadaran dan kekuatan yang lebih utuh. Karena menerima diri sendiri — dengan segala kerapuhan dan kekacauan yang dimiliki — adalah bentuk keberanian yang paling jujur.

Tidak semua hari akan cerah. Tidak semua cerita akan berakhir bahagia. Tapi semua itu adalah bagian dari kehidupan yang nyata. Dan di dalam kehidupan yang nyata, menangis bukan kelemahan. Marah bukan dosa. Kecewa bukan tanda kegagalan. Semua itu hanyalah bagian dari perjalanan menjadi manusia seutuhnya.

Maka jika suatu hari dunia terasa berat, tidak apa-apa untuk berkata, “Aku tidak baik-baik saja.” Itu bukan keluhan. Itu adalah bentuk penerimaan. Sebuah langkah kecil untuk merangkul diri sendiri, sebelum akhirnya bisa kembali berdiri dan melanjutkan hidup — bukan dengan paksaan untuk bahagia, tetapi dengan keberanian untuk merasa.

Ketika kita memaksakan kebahagiaan palsu, kita menciptakan jarak antara diri kita yang sebenarnya dan diri yang kita tampilkan ke dunia. Ini bisa menimbulkan perasaan keterasingan, bahkan terhadap diri sendiri. Kita mulai kehilangan koneksi dengan emosi kita yang paling dalam, merasa bersalah karena tidak bisa terus-menerus merasa bersyukur, lalu membohongi diri sendiri bahwa kita baik-baik saja — padahal jauh dari itu.

Masyarakat sering kali menganggap emosi negatif sebagai sesuatu yang harus dihindari. Sejak kecil, kita dibesarkan dengan kalimat seperti “jangan nangis,” atau “jangan marah-marah.” Ini membuat kita tumbuh dengan anggapan bahwa merasa sedih atau kecewa adalah sesuatu yang memalukan atau tidak layak diungkapkan. Padahal, semua emosi adalah sinyal dari tubuh dan jiwa — menunjukkan bahwa ada sesuatu yang butuh perhatian dan penanganan. Sama seperti rasa sakit pada tubuh yang menandakan luka, emosi negatif menandakan adanya bagian dari diri kita yang sedang membutuhkan pelukan, bukan penyangkalan.

Sayangnya, di era media sosial saat ini, toxic positivity semakin marak. Unggahan motivasi berlebihan, pamer kebahagiaan yang terus-menerus, dan narasi “kamu harus tetap tersenyum apa pun yang terjadi” menjadi tekanan tersendiri bagi banyak orang. Kita dipaksa untuk terus tampil kuat, meski sebenarnya sedang retak. Kita malu untuk berkata sedang lelah, karena takut dianggap tidak bersyukur. Maka kita tutup rapat luka itu dengan caption yang manis dan senyuman yang dipaksakan.

Namun, sebuah jiwa yang tidak diberi ruang untuk bernapas akan mudah lelah. Terus menerus menahan diri agar terlihat "baik-baik saja" membuat kita menjauh dari kejujuran. Dan pada akhirnya, apa artinya hidup bahagia jika semua hanya topeng?

Menghadapi emosi dengan jujur adalah bentuk kepedulian terhadap diri sendiri. Ketika kita sedih, menangislah. Ketika kita marah, beri ruang untuk merasakannya tanpa menyakiti diri sendiri atau orang lain. Ketika kita lelah, beristirahatlah. Karena kelelahan jiwa tak bisa sembuh hanya dengan kata-kata penyemangat. Ia butuh dimengerti, direngkuh, dan diproses pelan-pelan, dengan sabar.

Membangun kesehatan mental yang kuat bukan tentang menjadi bahagia setiap saat, melainkan tentang memiliki keberanian untuk duduk bersama rasa sakit, mengakuinya, dan tetap mencintai diri sendiri dalam proses itu. Tidak ada manusia yang selalu kuat. Tidak ada manusia yang selalu mampu tersenyum. Kita semua rapuh, dan dalam kerentanan itulah kita saling terhubung sebagai manusia.

Mari berhenti memaksa diri untuk terus positif. Alih-alih menutup luka dengan kata-kata palsu, lebih baik belajar mengobatinya dengan kejujuran. Dengarkan dirimu. Rangkul perasaanmu. Karena pada akhirnya, yang kamu butuhkan bukan untuk terlihat bahagia, tapi untuk benar-benar merasa utuh, meski masih dalam perjalanan penyembuhan.


Posting Komentar

0 Komentar