Nama sebuah negara bukan sekadar label geografis; ia adalah cerminan sejarah, budaya, dan jati diri suatu bangsa. Di tengah lanskap Timur Tengah yang penuh dengan pergeseran geopolitik dan dinamika sejarah, Iran adalah salah satu negara yang memiliki jejak panjang dalam peradaban dunia. Namun, tidak semua orang menyadari bahwa nama Iran dulunya dikenal secara luas sebagai Persia. Perubahan nama ini bukan terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari perjalanan panjang yang melibatkan identitas nasional, pengaruh politik global, dan semangat pembaruan dari dalam negeri.
Untuk waktu yang sangat lama, dunia luar mengenal wilayah ini dengan nama Persia—sebuah sebutan yang berasal dari “Parsa”, salah satu provinsi kuno di bagian selatan Iran yang menjadi pusat kekaisaran besar seperti Dinasti Achaemenid. Nama Persia telah digunakan dalam literatur, peta dunia, dan diplomasi internasional selama ribuan tahun, dan membawa konotasi kuat tentang kemegahan kebudayaan, sastra, seni, dan arsitektur yang mendunia. Dari puisi Rumi hingga istana Persepolis, Persia telah lama menjadi simbol kemuliaan peradaban Timur.
Namun, bagi penduduk lokal, negeri ini tidak pernah disebut Persia. Nama yang digunakan dalam bahasa mereka sendiri adalah “Iran”, yang berarti “tanah bangsa Arya”—sebuah istilah yang merujuk pada akar etnis dan linguistik bangsa Iran kuno. Nama “Iran” sendiri sudah digunakan sejak zaman Kekaisaran Sasanid sekitar abad ke-3 Masehi, dan terus digunakan dalam komunikasi internal di kalangan rakyat dan penguasa lokal. Jadi, secara historis, sebutan Iran bukanlah hal baru bagi warganya, melainkan hanya terdengar asing bagi dunia luar yang terbiasa menyebutnya Persia.
Perubahan resmi nama dari Persia menjadi Iran terjadi pada tahun 1935, saat Reza Shah Pahlavi mengirimkan permintaan kepada komunitas internasional agar menyebut negaranya dengan nama “Iran” dalam seluruh dokumen resmi dan diplomatik. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Reza Shah, yang tengah gencar melakukan modernisasi dan nasionalisme, ingin menghapus sisa-sisa pengaruh kolonialisme dan menegaskan identitas bangsa Iran sebagai bangsa yang mandiri dan kuat. Dengan menggunakan nama “Iran”, ia ingin menghubungkan rakyatnya kembali dengan akar sejarah dan kebanggaan etnis mereka, sekaligus memberi isyarat bahwa negara ini telah memasuki era baru yang lebih berdaulat dan berwawasan nasional.
Namun, keputusan ini menimbulkan kebingungan di dunia internasional. Banyak negara, akademisi, dan media yang masih terbiasa menggunakan nama Persia. Bahkan hingga hari ini, istilah Persia tetap hidup dalam konteks budaya seperti "karpet Persia", "kucing Persia", atau "puisi Persia". Nama Persia telah menjadi merek kultural yang melekat erat dengan keindahan dan kehalusan kebudayaan klasik Iran.
Pada tahun 1959, pemerintah Iran di bawah Mohammad Reza Pahlavi, putra Reza Shah, sempat membuka kembali kemungkinan penggunaan nama Persia untuk konteks budaya dan informal, sementara “Iran” tetap menjadi sebutan resmi untuk negara tersebut. Ini dilakukan untuk menjembatani kebingungan internasional dan tetap memelihara warisan historis yang telah dikenal luas.
Perjalanan dari Persia ke Iran bukanlah pergantian semata, tetapi refleksi dari pergulatan identitas sebuah bangsa yang ingin berdiri tegak di atas sejarahnya sendiri. Di satu sisi, Iran ingin tetap terhubung dengan kemegahan masa lalunya, namun di sisi lain, ia juga ingin menegaskan keberadaan modernnya di panggung dunia. Nama “Iran” adalah simbol dari kemandirian dan semangat nasionalisme, sedangkan “Persia” adalah warisan yang terus bersinar dalam dunia seni dan budaya.
Kini, keduanya hidup berdampingan. Iran adalah nama resmi yang digunakan dalam urusan diplomatik dan politik, sementara Persia masih menjadi rujukan dalam narasi sejarah dan kebudayaan. Sebuah negara dengan dua nama yang mencerminkan dua sisi dari satu jiwa: satu adalah masa lalu yang agung, satu lagi adalah masa kini yang terus berjuang menemukan tempatnya dalam dunia modern.
Perubahan nama ini juga tak lepas dari dinamika hubungan Iran dengan dunia luar. Pada dekade-dekade setelah penggantian nama, Iran terus bertransformasi, baik secara politik maupun sosial. Revolusi Islam tahun 1979 semakin mengukuhkan nama "Iran" sebagai simbol identitas baru yang tidak hanya bersifat nasionalistik, tapi juga ideologis. Di bawah Republik Islam, Iran mempertegas dirinya sebagai negara dengan sistem politik yang berbeda dari banyak negara lain di kawasan maupun di dunia—dan nama "Iran" pun makin kuat melekat dalam persepsi global sebagai representasi dari negara yang independen dan berdaulat penuh.
Meski demikian, istilah Persia tidak sepenuhnya lenyap. Dalam diaspora Iran di berbagai belahan dunia, banyak yang masih menggunakan kata “Persian” untuk menyebut bahasa mereka, budaya mereka, bahkan identitas mereka. Ini bukan karena penolakan terhadap istilah “Iran”, melainkan karena “Persia” membawa nuansa yang lebih netral secara politik dan lebih diterima dalam konteks budaya global. Di berbagai komunitas seni, musik, dan kuliner, nama Persia bahkan kerap digunakan untuk menonjolkan sisi elegan dan kaya sejarah dari kebudayaan Iran.
Sebagai contoh, penyair seperti Hafez dan Khayyam lebih sering disebut sebagai penyair Persia daripada penyair Iran, meskipun secara geografis mereka berasal dari wilayah yang sekarang disebut Iran. Restoran di luar negeri lebih suka menyebut masakannya sebagai masakan Persia ketimbang Iran, karena nama Persia dianggap lebih eksotis dan akrab di telinga Barat. Hal ini menunjukkan bahwa kedua nama tersebut kini hidup berdampingan dalam dua ranah yang berbeda: Iran dalam ranah politik dan administratif, Persia dalam ranah budaya dan sejarah.
Sebagian orang mungkin menganggap ini sebagai dualisme identitas, namun justru di sanalah letak kekayaan sejarah Iran. Negara ini mampu membawa dua warisan sekaligus: warisan kemegahan kekaisaran Persia yang berpengaruh dalam sejarah peradaban dunia, dan warisan kemandirian bangsa Iran yang berdiri tegak melawan dominasi asing. Dari nama Persia yang menggema di jalur sutra dan istana kuno, hingga nama Iran yang berdiri kokoh di forum-forum internasional masa kini, negeri ini terus menapaki jalan panjang yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.
Nama bukan sekadar penyebutan. Ia adalah cara sebuah bangsa memperkenalkan dirinya kepada dunia. Iran, dahulu dikenal sebagai Persia, adalah bukti bahwa dalam satu nama bisa tersimpan kisah yang panjang tentang kejayaan, perubahan, dan pencarian jati diri. Dan meski zaman berganti, semangat yang hidup di balik nama itu tetap menyala—mengingatkan dunia bahwa tanah ini, apa pun namanya, akan selalu punya tempat istimewa dalam peta sejarah umat manusia.
0 Komentar