Akhir-akhir ini, istilah self-healing sering muncul di mana-mana. Di feed media sosial, di caption orang-orang yang berlibur ke gunung atau pantai, di obrolan ringan saat teman sedang merasa lelah dan butuh "me time." Kata ini seolah menjadi semacam mantra modern, obat mujarab yang bisa menyembuhkan segala bentuk stres, cemas, atau patah hati. Tapi benarkah self-healing itu sebuah proses nyata? Atau hanya tren baru yang digunakan untuk menyamarkan pelarian diri?
Self-healing, secara harfiah, berarti penyembuhan diri. Konsep ini sejatinya bukan barang baru. Sejak dulu, manusia selalu punya cara untuk memulihkan dirinya sendiri dari luka batin, baik melalui perenungan, meditasi, menulis, berjalan sendirian, atau sekadar duduk diam menatap langit sore. Proses ini lahir dari kebutuhan paling dasar manusia: untuk bertahan, untuk bangkit, dan untuk kembali menemukan makna setelah rasa hancur.
Namun, di era digital seperti sekarang, self-healing telah mengalami transformasi besar. Ia tak lagi diam-diam. Ia menjadi sesuatu yang dipublikasikan. Kita melihatnya lewat gambar seseorang memeluk diri sendiri di tengah alam terbuka, atau kutipan-kutipan bijak yang diunggah bersama senja dan musik sendu. Tak jarang, self-healing tampil seperti pertunjukan. Kita mulai bertanya-tanya: apakah ini proses batin yang sunyi, atau justru bentuk pencitraan baru yang dikemas rapi dalam estetika visual?
Bukan berarti semua bentuk self-healing yang dibagikan adalah palsu. Kadang, membagikan proses penyembuhan adalah bagian dari keberanian untuk terbuka. Tapi kita juga tak bisa menutup mata, bahwa ada kalanya self-healing dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab, memotong hubungan tanpa penjelasan, atau membenarkan pelarian tanpa arah. Frasa "aku butuh self-healing dulu" bisa terdengar seperti perisai untuk menolak komunikasi, menyimpan kesalahan, atau menolak memperbaiki sesuatu yang rusak.
Lalu, apakah self-healing itu nyata? Ya, ia nyata. Tapi bukan yang kita lihat di Instagram atau TikTok semata. Ia bukan tentang pergi ke tempat indah, makan makanan mahal, atau belanja impulsif demi merasa lebih baik untuk sementara. Self-healing yang sesungguhnya adalah proses panjang. Ia seringkali tidak Instagramable. Ia terjadi dalam keheningan. Dalam tangisan yang tidak diunggah. Dalam pergumulan batin yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Ia adalah saat ketika seseorang berani mengakui bahwa ada yang tidak baik-baik saja dalam dirinya. Saat seseorang mau duduk bersama rasa sakit, menelusuri asal muasal luka, dan tidak buru-buru menutupi semuanya dengan hal-hal menyenangkan. Ia adalah kerja sunyi. Kadang membosankan, kadang menyakitkan. Tapi di situlah penyembuhan sejati terjadi—perlahan, tidak instan, dan tanpa sorotan lampu kamera.
Di sisi lain, kita juga tak perlu merendahkan orang-orang yang memilih healing dengan cara yang lebih ringan: dengan berjalan ke pantai, menginap di hotel, minum kopi sendirian, atau menikmati waktu tanpa gangguan. Selama itu membuat hati lebih tenang, dan bukan pelarian semata, semua bentuk penyembuhan layak dihargai. Karena pada akhirnya, tidak ada bentuk self-healing yang bisa diseragamkan. Semua orang punya luka, dan semua orang punya cara berbeda untuk merawatnya.
Namun, penting untuk diingat bahwa self-healing tidak berarti kita menyembuhkan diri sendirian. Kadang, penyembuhan justru hadir melalui kehadiran orang lain. Melalui pelukan, obrolan dalam keheningan, atau keberanian untuk meminta bantuan profesional. Menyembuhkan diri bukan berarti menutup diri. Justru, membuka ruang untuk orang lain masuk dan membantu sering kali menjadi titik balik paling penting dalam proses itu.
Jadi, apakah self-healing hanya tren? Bisa jadi. Tapi di balik tren itu, ada kebutuhan yang nyata. Di balik estetika itu, ada manusia yang sedang mencoba bertahan. Kita hidup di dunia yang penuh tekanan, ekspektasi, dan perbandingan. Maka wajar jika kita mencari cara untuk meredakan semuanya. Yang penting adalah niat di baliknya: apakah kita benar-benar ingin sembuh, atau hanya ingin terlihat seperti orang yang sedang berproses?
Karena sesungguhnya, self-healing bukan tentang terlihat kuat di depan orang lain, tapi tentang menjadi jujur pada diri sendiri. Bahwa kita lelah. Bahwa kita sedang rapuh. Dan bahwa tidak apa-apa untuk mengambil jeda, selama jeda itu membawa kita kembali pulang—bukan menjauh dari kenyataan.
Self-healing sejati tidak menjanjikan kebahagiaan instan. Tapi ia memberi ruang untuk bernapas. Untuk kembali mengenali diri. Untuk berdamai dengan masa lalu, menyentuh luka dengan kelembutan, dan perlahan menumbuhkan harapan dari tempat yang sunyi. Dalam diam itu, ada proses yang tak terlihat, tapi nyata. Dan mungkin, di sanalah penyembuhan itu benar-benar dimulai.
Namun, perjalanan self-healing bukan sesuatu yang berjalan lurus. Ia penuh belokan, terkadang membuat kita merasa telah pulih, hanya untuk jatuh kembali ke lubang yang sama. Ini bukan pertanda gagal. Justru, dalam siklus jatuh-bangun itulah kita sedang mengukir pemahaman bahwa menyembuhkan diri adalah kerja seumur hidup—bukan proyek akhir pekan yang selesai dalam satu sesi meditasi atau perjalanan singkat ke tempat tenang.
Sering kali kita terburu-buru sembuh, seolah luka batin harus segera dibungkus dan disimpan rapi agar tak terlihat. Kita malu menjadi rapuh. Kita merasa bersalah saat merasa sedih terlalu lama. Padahal, tidak ada durasi tetap untuk sembuh. Tidak ada jadwal pasti kapan luka harus berhenti nyeri. Menyembuhkan diri bukan soal siapa yang paling cepat tersenyum kembali, melainkan siapa yang paling jujur mengakui rasa sakitnya.
Kadang, healing berarti menerima bahwa tidak semua hal akan kembali seperti semula. Ada hal yang memang harus berubah. Ada orang yang memang harus dilepaskan. Ada impian yang harus dikuburkan dengan tenang. Dan dari sana, kita membangun ulang dunia di dalam diri—dengan fondasi yang lebih kuat, lebih sadar, dan lebih penuh kasih.
Self-healing juga bukan kompetisi. Tidak ada yang perlu dibuktikan. Tidak perlu membandingkan siapa yang lebih sering “menyendiri untuk mencintai diri sendiri.” Tidak perlu merasa lebih unggul karena bisa melakukan journaling setiap pagi atau yoga setiap sore. Proses penyembuhan bukan tentang pencapaian, tapi tentang kehadiran. Apakah kita benar-benar hadir untuk diri sendiri? Apakah kita mendengar isi hati kita tanpa menghakimi? Apakah kita memberi izin pada diri untuk merasa, tanpa buru-buru memperbaiki?
Ironisnya, di era ketika semua hal bisa dibagikan, self-healing justru kadang kehilangan makna terdalamnya. Ia berubah menjadi konten. Menjadi ajang untuk menunjukkan versi terbaik dari diri yang sedang luka. Padahal, bagian paling penting dari penyembuhan justru terjadi ketika tidak ada yang melihat. Ketika satu-satunya saksi dari perjuangan kita adalah diri sendiri.
Ada orang yang menyembuhkan dirinya melalui menulis. Ada yang berjalan kaki tanpa tujuan, menikmati hiruk pikuk kota. Ada yang berdiam diri di kamar, memutar lagu yang sama berkali-kali. Ada pula yang berbicara dengan terapis, menangis dalam pelukan orang terdekat, atau berbicara dengan Tuhan dalam doa panjang yang lirih. Semua itu valid. Semua itu adalah bentuk perawatan terhadap jiwa yang sedang retak.
Tidak perlu ragu jika prosesmu terlihat berbeda. Tidak semua luka bisa disembuhkan dengan metode yang sama. Yang penting adalah kejujuran. Apakah kita benar-benar ingin sembuh, atau hanya ingin lupa? Apakah kita berani menghadapi rasa tidak nyaman yang muncul saat menyelami batin sendiri, atau kita hanya ingin bersembunyi dalam kata “healing” agar tidak perlu menjelaskan lebih jauh?
Pada akhirnya, kita semua terluka dalam cara yang berbeda-beda. Entah karena kehilangan, pengkhianatan, harapan yang kandas, atau beban hidup yang terus bertambah. Self-healing adalah upaya untuk tetap berdiri meski tertatih. Untuk tetap melihat cahaya meski samar. Untuk tetap memilih hidup meski tidak selalu indah.
Dan meskipun ia kini menjadi tren, bukan berarti maknanya hilang. Di balik kata yang sering diulang-ulang itu, ada ribuan jiwa yang sedang berjuang diam-diam untuk kembali utuh. Mungkin itu kamu. Mungkin itu aku. Mungkin itu kita semua—yang sedang belajar mencintai diri, pelan-pelan, satu hari dalam satu waktu.
Jadi, apakah self-healing nyata atau hanya tren?
Mungkin jawabannya tergantung pada bagaimana kita menjalaninya. Bagi mereka yang benar-benar ingin sembuh, ia adalah proses sakral yang tak bisa diukur dari jumlah likes atau views. Ia adalah perjalanan pulang ke dalam diri. Dan jika kamu sedang berada di jalan itu sekarang, tak perlu terburu-buru. Jalan saja. Karena setiap langkah kecilmu adalah bentuk cinta yang paling tulus pada diri sendiri.
0 Komentar