Kita sering bilang capek sama drama. Lelah sama orang-orang yang penuh drama. Ingin hidup yang tenang, damai, dan bebas ribut. Tapi, coba jujur sedikit saja—kenapa, ya, kita masih betah nonton drama Korea sampai subuh, nungguin update gosip selebriti, atau bahkan ikut-ikutan nge-scroll komentar netizen yang ribut di kolom postingan viral? Rasanya ada semacam hubungan cinta dan benci antara kita dan drama. Kita bilang “capeeeek”, tapi kok nggak bisa beneran ninggalin?
Drama, dalam berbagai bentuknya, memang punya daya tarik yang kuat. Ia menyajikan konflik, emosi, dan ketegangan yang memicu rasa penasaran. Kita jadi ingin tahu kelanjutannya, ingin melihat siapa yang menang, siapa yang salah, siapa yang jahat beneran dan siapa yang ternyata cuma salah paham. Bahkan dalam kehidupan nyata, tanpa kita sadari, kita sering tertarik pada cerita-cerita yang punya ‘bumbu’ lebih. Percakapan yang biasa saja kadang lewat begitu saja, tapi kalau ada yang bilang, “Tahu nggak sih, si A kemarin ribut sama si B…” Nah, baru deh telinga kita berdiri.
Ternyata, secara psikologis, manusia memang tertarik pada konflik. Otak kita merespons emosi dengan sangat aktif, apalagi kalau menyangkut perasaan seperti marah, sedih, kecewa, atau cemburu. Emosi-emosi itu memberi warna dalam hidup yang kadang terasa terlalu datar. Itulah sebabnya drama, baik di layar kaca maupun di dunia nyata, bisa terasa begitu ‘hidup’. Kita merasa ikut terlibat, ikut berdebar, ikut terbawa suasana. Bahkan kadang, tanpa sadar, kita bisa memproyeksikan perasaan atau pengalaman pribadi ke dalam cerita orang lain.
Lucunya, meskipun kita bilang ingin hidup tenang, sering kali kita merasa bosan kalau semuanya terlalu mulus. Hubungan yang adem-adem saja lama-lama terasa datar. Persahabatan yang nggak pernah ada konflik kadang malah jadi hambar. Bukan berarti kita butuh ribut-ribut, tapi manusia memang punya kecenderungan untuk mencari sesuatu yang dinamis. Dan drama, dalam bentuk tertentu, menawarkan dinamika itu.
Tentu saja, tidak semua drama itu sehat. Ada drama yang manipulatif, penuh intrik, dan merusak. Tapi ada juga drama yang muncul secara alami, sebagai bagian dari dinamika hubungan manusia. Kita bertumbuh lewat konflik. Kita belajar memahami lewat perbedaan. Dan kadang, drama yang muncul justru bisa jadi titik balik dalam hubungan—entah semakin dekat, atau malah tahu kapan harus mundur.
Yang jadi persoalan adalah ketika kita terlalu larut. Ketika kita tidak hanya menikmati drama sebagai hiburan atau pelajaran, tapi justru mencari-cari drama, bahkan menciptakannya sendiri. Ada kalanya kita perlu menilai ulang: apakah kita sedang menikmati cerita orang lain, atau justru hidup kita berubah jadi cerita yang terlalu rumit karena kita tak bisa keluar dari lingkaran konflik?
Keseimbangan adalah kuncinya. Drama, seperti garam dalam masakan, perlu ada untuk memberi rasa, tapi jangan sampai kebanyakan. Nikmati dramanya, pelajari pelajarannya, tapi jangan biarkan hidupmu dikuasai olehnya. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan hanya jadi penonton atau pemain dalam cerita yang nggak jelas ujungnya.
Dan kalau suatu hari kamu benar-benar lelah dengan drama, ingat: kamu selalu punya pilihan untuk keluar dari panggung itu. Duduk di bangku penonton, atau bahkan meninggalkan pertunjukannya sama sekali. Karena kadang, ketenangan adalah episode terbaik dalam hidup yang jarang kita tonton.
0 Komentar