Garpu: Perjalanan Sunyi dari Kutukan ke Meja Makan

 

Di atas meja makan, garpu tergeletak begitu saja, sunyi dan tanpa tanda-tanda sejarah panjang yang mengalir di balik tubuh logamnya. Benda kecil bercabang itu tampak biasa, nyaris tak menarik perhatian, padahal dulu ia pernah jadi simbol kontroversi, bahkan dianggap penghinaan terhadap Tuhan.


Jauh sebelum hadir di rumah-rumah modern, garpu pertama kali muncul di kawasan Timur Tengah dan Kekaisaran Bizantium, digunakan oleh para bangsawan untuk menyantap buah dan daging tanpa mengotori tangan. Dua gigi kecil menancap pada tangkai perak atau emas, bukan sekadar alat makan, tapi lambang keanggunan dan status sosial. Namun di Eropa, di mana tangan dianggap anugerah Tuhan yang suci, kehadiran garpu memicu amarah. Ia dianggap alat asing yang tidak perlu, bahkan sesat. Ketika seorang bangsawan perempuan dari Bizantium membawa garpu ke Venesia sebagai bagian dari adat istananya, orang-orang gereja memandangnya dengan jijik. Mereka berkata, siapa yang menggunakan garpu menolak ciptaan Tuhan. Dan ketika sang perempuan wafat muda, mereka menganggap itu hukuman dari langit.

Garpu menghilang, dibuang dari meja-meja makan dan hanya berani digunakan secara diam-diam oleh mereka yang tak peduli pandangan tetangga atau kutukan para rohaniwan. Butuh waktu berabad-abad bagi benda kecil itu untuk kembali, pelan-pelan menyusup lewat celah etiket dan kebutuhan. Di Italia, cinta pada pasta membuka kembali pintu bagi garpu. Sulit menyantap spaghetti dengan tangan atau sendok. Maka garpu, dengan tiga gigi rampingnya, kembali diterima. Tak lama, ia muncul dalam lukisan Renaisans, di tangan para bangsawan, di samping gelas anggur dan roti bundar. Lambat tapi pasti, ia mulai diterima bukan karena simbol kekuasaan, tapi karena kepraktisannya.

Perancis mengikuti. Lalu Inggris, meski dengan hati berat. Di sana, garpu dianggap lembek, bahkan pengecut. Tapi ketika budaya Prancis mulai mendikte selera para bangsawan Eropa, garpu ikut terbawa arus. Desainnya berubah, dari dua gigi menjadi empat, dari garis lurus menjadi lengkung lembut. Ia tak lagi hanya untuk buah atau pasta, tapi untuk segala jenis hidangan: daging, salad, kue. Bentuk dan bahan mengikuti zaman—ada yang dari baja, dari kayu, bahkan plastik yang sekali pakai lalu dibuang begitu saja.

Revolusi Industri membawa garpu keluar dari istana dan masuk ke rumah-rumah rakyat. Ia tak lagi jadi simbol kelas, melainkan bagian dari rutinitas. Di sekolah, di rumah sakit, di restoran cepat saji, garpu hadir tanpa perlu dijelaskan. Ia menjadi diam-diam, sederhana, dan justru karena itulah ia bertahan.

Kini tak ada yang memperdebatkannya. Tak ada yang memandang aneh saat seseorang menusuk sepotong ayam goreng atau memutar mie dengan bantuan gigi-giginya. Ia telah menjadi alat makan paling tenang dan paling setia. Tapi di balik keheningan itu, tersembunyi jejak panjang—tentang peradaban, keangkuhan, kemarahan, kebutuhan, dan akhirnya, penerimaan. Sebuah perjalanan dari istana ke meja makan, dari kutukan ke kebiasaan, dari kemewahan ke keseharian. Garpu, dalam diamnya, adalah saksi bagaimana dunia berubah perlahan.

Posting Komentar

0 Komentar