Tiba-tiba saja dunia menoleh ke Aceh. Bukan karena bencana atau berita politik, melainkan karena sebuah tarian. Ya, tarian. Ratoh Jaroe—sebuah seni gerak tubuh khas Aceh—tiba-tiba muncul di akun resmi Apple, menghiasi lini masa jutaan orang dari berbagai penjuru dunia. Tanpa banyak kata, hanya lewat irama, gerakan yang sinkron, dan warna-warna khas busana tradisional, Ratoh Jaroe menyapa dunia dengan keanggunan yang nyaris tak terduga.
Video itu bukan sembarangan video. Ia direkam seluruhnya menggunakan iPhone dan menjadi bagian dari kampanye global Apple bertajuk “Music Moves Tradition” dengan tagar #ShotOniPhone. Di dalamnya, puluhan penari tampil dalam formasi rapi, mengenakan busana hitam dan songket khas Aceh, bergerak kompak, selaras, dan tegas. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus menggetarkan dalam setiap detik visual itu. Rasanya seperti menyaksikan tarian masa lalu yang menembus batas waktu, hadir di era teknologi dengan penuh percaya diri.
Bagi orang Aceh, Ratoh Jaroe bukan sekadar tari. Ia adalah bentuk dari keharmonisan sosial, ekspresi spiritual, dan kekuatan komunitas. Gerakan-gerakannya yang cepat dan seragam mencerminkan kekompakan dan semangat gotong royong, dua hal yang memang menjadi napas dalam kehidupan masyarakat Aceh. Biasanya, tarian ini dibawakan oleh perempuan-perempuan muda dalam formasi duduk atau berdiri, dengan gerakan tangan dan badan yang ritmis mengikuti suara musik dan tepukan yang khas. Tak hanya indah, Ratoh Jaroe juga membawa pesan-pesan yang sarat nilai: nasihat, pujian, hingga doa.
Ketika Apple mengangkatnya sebagai simbol tradisi yang tetap bergerak dalam irama masa kini, yang terasa bukan hanya kebanggaan, tapi juga semacam pembenaran. Bahwa budaya Indonesia, yang sering kali dianggap terlalu lokal, ternyata punya daya pukau universal. Bahwa gerakan-gerakan dari desa di Aceh bisa tampil elegan dalam standar estetika global yang ditetapkan oleh merek sebesar Apple. Dan bahwa teknologi bukanlah ancaman bagi budaya, melainkan justru bisa menjadi kendaraan yang membawanya menjelajah dunia.
Reaksi netizen pun menggema di kolom komentar. Ada yang bangga, ada yang terharu, ada yang baru tahu bahwa Indonesia punya tarian sebagus itu. Sebagian orang luar negeri menyebut tarian ini sebagai sesuatu yang “hypnotic”, penuh kekuatan, sekaligus menenangkan. Sementara banyak orang Indonesia sendiri justru merasa tersentil—bahwa budaya seindah ini ternyata lebih dikenal lewat unggahan perusahaan asing dibanding promosi dari dalam negeri.
Tapi mungkin justru di situlah keajaibannya. Kadang, kita perlu cermin dari luar untuk bisa melihat keindahan diri sendiri. Apple dengan segala sumber dayanya tak hanya menampilkan kecanggihan iPhone, tapi juga menghadirkan narasi bahwa keindahan tidak selalu lahir dari gedung pencakar langit atau metropolis yang berkilau. Keindahan juga bisa datang dari desa, dari budaya, dari tarian yang lahir dari lumbung spiritualitas dan sejarah.
Video Ratoh Jaroe di Instagram Apple ini adalah pengingat bahwa kita punya harta karun yang belum semuanya digali. Bahwa di balik layar ponsel yang tiap hari kita lihat, ada peluang untuk menampilkan jati diri. Bahwa di tengah dunia yang semakin digital, budaya bisa tetap hidup, bahkan tumbuh. Bukan sebagai fosil masa lalu, tapi sebagai napas baru yang terus bergerak mengikuti irama zaman.
Ratoh Jaroe, yang selama ini hanya dikenal di kalangan tertentu, kini punya panggung yang lebih luas. Dan mungkin, ini bukan hanya soal Apple. Ini tentang harapan. Bahwa satu demi satu, budaya kita akan mendapat tempat yang layak. Bukan hanya di buku pelajaran atau festival sekolah, tapi juga di layar global yang disaksikan dunia.
Karena ketika Aceh menari, dunia pun berhenti sejenak untuk melihat. Dan di situlah kita tahu, bahwa kita punya sesuatu yang berharga untuk dibagikan.
Kalau kamu ingin, artikel ini bisa langsung dikembangkan jadi konten lengkap dengan gambar, ilustrasi, atau bahkan versi audio-naratif. Mau aku bantu juga?
Tentu, berikut adalah versi artikel tanpa poin, penuh narasi dengan gaya santai dan mengalir—cocok untuk konten blog yang ingin tampil kuat namun tetap hangat
Ratoh Jaroe, Ketika Aceh Menari di Layar Dunia
Tiba-tiba saja dunia menoleh ke Aceh. Bukan karena bencana atau berita politik, melainkan karena sebuah tarian. Ya, tarian. Ratoh Jaroe—sebuah seni gerak tubuh khas Aceh—tiba-tiba muncul di akun resmi Apple, menghiasi lini masa jutaan orang dari berbagai penjuru dunia. Tanpa banyak kata, hanya lewat irama, gerakan yang sinkron, dan warna-warna khas busana tradisional, Ratoh Jaroe menyapa dunia dengan keanggunan yang nyaris tak terduga.
Video itu bukan sembarangan video. Ia direkam seluruhnya menggunakan iPhone dan menjadi bagian dari kampanye global Apple bertajuk “Music Moves Tradition” dengan tagar #ShotOniPhone. Di dalamnya, puluhan penari tampil dalam formasi rapi, mengenakan busana hitam dan songket khas Aceh, bergerak kompak, selaras, dan tegas. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus menggetarkan dalam setiap detik visual itu. Rasanya seperti menyaksikan tarian masa lalu yang menembus batas waktu, hadir di era teknologi dengan penuh percaya diri.
Bagi orang Aceh, Ratoh Jaroe bukan sekadar tari. Ia adalah bentuk dari keharmonisan sosial, ekspresi spiritual, dan kekuatan komunitas. Gerakan-gerakannya yang cepat dan seragam mencerminkan kekompakan dan semangat gotong royong, dua hal yang memang menjadi napas dalam kehidupan masyarakat Aceh. Biasanya, tarian ini dibawakan oleh perempuan-perempuan muda dalam formasi duduk atau berdiri, dengan gerakan tangan dan badan yang ritmis mengikuti suara musik dan tepukan yang khas. Tak hanya indah, Ratoh Jaroe juga membawa pesan-pesan yang sarat nilai: nasihat, pujian, hingga doa.
Ketika Apple mengangkatnya sebagai simbol tradisi yang tetap bergerak dalam irama masa kini, yang terasa bukan hanya kebanggaan, tapi juga semacam pembenaran. Bahwa budaya Indonesia, yang sering kali dianggap terlalu lokal, ternyata punya daya pukau universal. Bahwa gerakan-gerakan dari desa di Aceh bisa tampil elegan dalam standar estetika global yang ditetapkan oleh merek sebesar Apple. Dan bahwa teknologi bukanlah ancaman bagi budaya, melainkan justru bisa menjadi kendaraan yang membawanya menjelajah dunia.
Reaksi netizen pun menggema di kolom komentar. Ada yang bangga, ada yang terharu, ada yang baru tahu bahwa Indonesia punya tarian sebagus itu. Sebagian orang luar negeri menyebut tarian ini sebagai sesuatu yang “hypnotic”, penuh kekuatan, sekaligus menenangkan. Sementara banyak orang Indonesia sendiri justru merasa tersentil—bahwa budaya seindah ini ternyata lebih dikenal lewat unggahan perusahaan asing dibanding promosi dari dalam negeri.
Tapi mungkin justru di situlah keajaibannya. Kadang, kita perlu cermin dari luar untuk bisa melihat keindahan diri sendiri. Apple dengan segala sumber dayanya tak hanya menampilkan kecanggihan iPhone, tapi juga menghadirkan narasi bahwa keindahan tidak selalu lahir dari gedung pencakar langit atau metropolis yang berkilau. Keindahan juga bisa datang dari desa, dari budaya, dari tarian yang lahir dari lumbung spiritualitas dan sejarah.
Video Ratoh Jaroe di Instagram Apple ini adalah pengingat bahwa kita punya harta karun yang belum semuanya digali. Bahwa di balik layar ponsel yang tiap hari kita lihat, ada peluang untuk menampilkan jati diri. Bahwa di tengah dunia yang semakin digital, budaya bisa tetap hidup, bahkan tumbuh. Bukan sebagai fosil masa lalu, tapi sebagai napas baru yang terus bergerak mengikuti irama zaman.
Ratoh Jaroe, yang selama ini hanya dikenal di kalangan tertentu, kini punya panggung yang lebih luas. Dan mungkin, ini bukan hanya soal Apple. Ini tentang harapan. Bahwa satu demi satu, budaya kita akan mendapat tempat yang layak. Bukan hanya di buku pelajaran atau festival sekolah, tapi juga di layar global yang disaksikan dunia.
Karena ketika Aceh menari, dunia pun berhenti sejenak untuk melihat. Dan di situlah kita tahu, bahwa kita punya sesuatu yang berharga untuk dibagikan.
0 Komentar