Ada hari-hari yang datang begitu saja, tanpa kabar besar, tanpa kejutan, tanpa cerita yang bisa dibagikan ke siapa pun. Pagi tiba seperti biasanya, dengan cahaya matahari yang mengintip malu-malu di balik tirai jendela. Suara ayam tetangga, motor yang melintas, aroma kopi yang tercium dari dapur — semuanya berjalan seperti kaset lama yang diputar ulang, berulang kali, sampai kita hafal nadanya di luar kepala.
Hari seperti ini mungkin tidak terlihat penting. Tidak ada capaian baru, tidak ada keputusan besar yang diambil, tidak ada kabar mengejutkan yang datang lewat telepon atau email. Hanya detik demi detik yang berjalan perlahan, membentuk satu hari yang mungkin akan segera kita lupakan. Tapi bukankah sebagian besar hidup kita memang seperti itu? Bukan pesta pora yang hingar-bingar, bukan kisah luar biasa yang layak difilmkan, melainkan hari-hari biasa yang diam-diam membentuk siapa diri kita.
Sering kali kita terlalu fokus pada momen besar, pencapaian luar biasa, atau perubahan drastis. Kita lupa bahwa hidup tak hanya dibangun dari momen-momen yang membuncahkan dada, tapi juga dari rutinitas kecil yang diam-diam menjaga kita tetap waras. Mencuci piring, menyiram tanaman, membuka gorden, mengganti seprai, mencatat pengeluaran, menyalakan lilin aromaterapi — semua hal kecil itu mungkin terlihat remeh, tapi justru di sanalah hidup paling terasa nyata.
Hari yang biasa memberi kita ruang untuk bernapas. Saat dunia tidak menuntut terlalu banyak dari kita, saat tidak ada ekspektasi besar yang menggantung di kepala, kita bisa duduk diam dan mendengar detak jantung sendiri. Kita bisa mengingat kembali hal-hal sederhana yang membuat kita bahagia — seperti menonton ulang film kesukaan, menyantap sepiring mie instan di sore hujan, atau membaca ulang buku yang pernah menyelamatkan kita dari malam-malam panjang.
Dalam diam hari yang biasa, kita belajar bersyukur tanpa alasan. Tak perlu menunggu kabar baik untuk merasa beruntung. Tak perlu pencapaian besar untuk merasa berarti. Bisa membuka mata di pagi hari, bisa menyeduh kopi dengan tangan sendiri, bisa tertawa saat menonton video kucing di internet — semua itu sudah lebih dari cukup untuk disebut anugerah.
Hari biasa juga memberi ruang bagi pikiran untuk meresapi. Kita bisa merenungkan arah hidup tanpa tekanan, mengevaluasi tanpa terburu-buru, dan mungkin menyadari bahwa tujuan hidup tidak harus selalu bergerak ke depan. Kadang kita perlu berhenti sejenak, atau bahkan berjalan mundur, untuk bisa melihat dengan lebih jernih. Mungkin hari ini bukan waktunya berlari. Mungkin hari ini adalah waktunya diam, menepi, dan sekadar hadir.
Kita sering kali merasa bersalah ketika tidak melakukan apa-apa. Padahal, diam bukan berarti malas. Tidak bergerak bukan berarti tertinggal. Kadang, yang kita butuhkan hanyalah ruang kosong untuk mengisi ulang, hari yang sunyi untuk mendengarkan suara hati sendiri, dan waktu yang tenang untuk merajut kembali diri yang sempat tercecer dalam hiruk pikuk dunia.
Hari-hari yang terasa biasa bukan musuh, bukan pula tanda bahwa kita stagnan. Ia adalah jeda, napas panjang di tengah marathon panjang yang bernama kehidupan. Ia mengingatkan bahwa kita bukan mesin. Kita manusia, dengan batas, dengan kebutuhan untuk beristirahat, dengan hak untuk merasa cukup walau tak ada apa-apa yang berubah.
Jadi jika hari ini terasa biasa saja, jangan kecewa. Jangan merasa gagal. Jangan terburu-buru mencari sesuatu untuk dikejar. Duduklah sebentar. Rasakan hangatnya sinar matahari di kulit. Dengar suara kipas angin yang berputar pelan. Biarkan waktu berjalan apa adanya, dan izinkan diri untuk hadir sepenuhnya, meski hanya untuk hari yang biasa. Karena di sanalah, mungkin, kita akhirnya menemukan kedamaian yang sesungguhnya.
0 Komentar